14 tahun sudah perjalanan otonomi daerah sebagai buah reformasi.
Banyak cerita sukses dan tak sedikit cerita mengenai kegagalannya. Otonomi
daerah tanpa diikuti dengan reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik,
dan kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan publik telah menciptakan
masalah baru di daerah dan menjauhkan masyarakat untuk memperoleh kehidupan
yang lebih baik.
Buku
berisi kajian atas pelaksanaan otonomi daerah hingga tahun 2009 ini seakan
menegaskan bahwa proses pembangunan di Indonesia belum menelurkan hasil nyata
berupa “Indonesia Baru” sebagaimana cita-cita reformasi tahun 1998. Proses
demokratisasi dan otonomi daerah masih menyisakan persoalan besar. Agus
Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto menyimpulkan dalam pendahuluan buku tersebut
4 (empat) hal:
Pertama,
reformasi politik yang radikal ternyata tidak diimbangi dengan reformasi
birokrasi yang jelas. Beberapa pertanyaan penting yang dapat diajukan terkait
dengan reformasi birokrasi antara lain: 1. Bagaimana peran negara vis-à-vis sektor swasta dan masyarakat
sipil harus diatur? 2. Bagaimana hubungan pusat dan daerah yang lebih sinergis
harus dibangun? 3. Bagaimana pola hubungan horizontal antardaerah dapat
dipolakan? 4. Bagaimana kelembagaan pemerintah lokal yang dapat menunjang
pembangunan secara efektif dapat diwujudkan?
5. Bagaimana sistem kepegawaian yang berbasiskan merit system harus dibangun?
Kedua, reformasi yang dibangun belum
mampu menghasilkan kepemimpinan yang mampu mentransformasikan Indonesia ke arah
yang lebih baik. Kepemimpinan politik dan birokrasi masih merupakan persoalan
besar dalam perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Perubahan proses
regenerasi kepemimpinan dari oligarkis
menjadi suatu model demokratis, di
satu sisi melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang aspiratif terhadap tuntutan
masyarakat, namun di sisi lain menjadi pemicu masalah yang lebih komplek: money politics, konflik antarpendukung,
dan kualitas kepemimpinan terpilih yang diragukan kapasitas kepemimpinannya,
serta affirmative action policy yang
memberikan porsi keterwakilan kaum perempuan sebesar 30% di parlemen ternyata
masih belum mampu dibuktikan dalam praktek karena kendala struktural maupun
kultural. Di luar lembaga legislatif, pemimpin perempuan juga masih menduduki
posisi marginal.
Ketiga, pelayanan publik yang merupakan
denyut nadi pemerintahan tidak pernah dirasakan hasilnya secara nyata oleh
rakyat. Pelayanan publik di negeri ini malah mengalami penurunan kualitas.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan: 1. Aksesibilitas warga miskin
terhadap pelayanan publik dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan masih
sangat rendah. 2. Sikap dan perilaku pejabat pelayan publik cenderung
menonjolkan sebagai pangreh-praja
yang jauh dari nilai-nilai sebagai seorang public
servant. 3. Hak dan kewajiban antara warga dan pemberi layanan masih
timpang sehingga warga dalam posisi yang selalu dirugikan.
Empat, otonomi daerah yang seharusnya
memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan ternyata justru memberi banyak
masalah, seperti kesenjangan pelayanan publik, alokasi anggaran yang banyak diserap
untuk kepentingan birokrasi (elite
capture), dan semakin maraknya korupsi di tingkat pemerintahan daerah.
Apa yang didiskusikan dalam buku ini?
Buku ini membahas tiga isu besar, yakni reformasi birokrasi (dari penguatan negara
sampai persoalan birokrasi), kepemimpinan (dari pilkada langsung sampai
kepemimpinan perempuan), dan pelayanan publik (dari pemekaran hingga
kesejahteraan ekonomi). Meskipun buku ini diterbitkan pada tahun 2009, namun
isinya masih terasa relevan dengan kondisi otonomi daerah saat ini. Membaca
buku ini tidak harus dimulai dari halaman pertama, namun sesuai kebutuhan
pembacanya karena disajikan per topik bahasan.
Buku
ini didedikasikan kepada Profesor Dr. Warsito Utomo dalam rangka pelepasan
purna tugas beliau sebagai guru ilmu administrasi publik di UGM. Buku ini
merupakan kompilasi berbagai topik dan isu terkait desentralisasi dan otonomi
daerah, reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan kepemimpinan, yang ditulis
oleh 26 narasumber dengan berbagai latar belakang keilmuan. Para penulis
tersebut merupakan murid, kolega, dan teman dari Profesor Dr. Warsito Utomo.
Selama puluhan tahun, sejak awal tahun 80an, ketika belum banyak orang peduli
dengan otonomi daerah, beliau telah menjadi bagian dari sedikit peneliti yang
menekuni berbagai isu tersebut.
Buku ini pantas mengisi koleksi ruang perpustakaan
pribadi dan kantor Anda.